Dari awal rencana pulang kampung bareng, sampai gue nganter dan balik lagi ke rumah gue, ngga ada satu pun yang gue rencanain. Semuanya berjalan seadanya, yang bisa gue lakuin adalah menjalaninya dan mengira-ngira apa yang bakal terjadi. Let it flow!
Keputusan sudah bulat, yaitu ngga jadi beli martabak dan langsung aja nganterin temen gue ke rumahnya. Ngga ada lagi kata terserah, akhirnya bisa bernapas lega. Di perjalanan mulai terjadi bertukar cerita dan gelak tawa. Salah satunya adalah tawa karena ngeliat mas-mba yang motornya mogok waktu mau tancap gas setelah lampu hijau menyala.
Selang beberapa ratus meter, jalan mulai rusak dan berlubang. Sempat gue berkomentar, dan langsung aja temen gue tertawa, "ini, nih, belom seberapa, ya". Gue cuma bisa menelan ludah, mencoba menenangkan diri. Sabaar, sabar. Demi nganterin temen gue yang kaya orang hilang, kasihan.
Tak terasa jalan yang dibicarakan sudah terlihat jelas di depan mata. Jalan yang ngga bisa lo pilih antara yang baik dan yang buruk. Tapi, yang penting adalah ada 'pemandu wisata' yang bakal nunjukin jalannya ke gue. Jadi, gue ngga bakal tersesat ke hatimu rumah orang lain.
Ternyata hujan telah mengguyur desa itu sebelum kita sampai. Rumput yang basah, jalanan becek, suhu udara yang dingin udah cukup jadi buktinya. Tangan gue udah beberapa kali lihai mengikuti liak liuk jalanan. Sementara itu, temen gue sedang asyik bercerita tentang beberapa spot horor di desa itu.
Akhirnya kami pun sampai. Gue parkir motor gue di halaman depan rumahnya dan perlahan melangkahkan kaki di areal rumahnya untuk yang pertama kali. Take it easy! Saatnya memakai jurus sok PD.
Gue tersenyum ketika melihat seorang lelaki di depan gue yang adalah ayah dari temen gue. Selanjutnya kami bersalaman, dan memasuki rumah.
"Habis hujan, ya, Pak?", tanya gue basa-basi. Emang bener-bener basi, gue udah tahu kalo habis hujan, tapi yaa, you know lah, kebiasaan hehe.
"Oh, iya, nak", jawabnya dengan senyum yang terukir di bibirnya, "lumayan deras tadi".
Kami hanya bertiga, gue, temen gue, dan ayahnya temen gue. Usai menanggalkan tas selempang dan jaket, langsung aja gue ke belakang buat ambil wudhu kemudian solat. Entah udah yang ke berapa kali, di pikiran gue terbersit, "kok bisa, ya?".
Temen gue dari dapur bawa dua botol Fanta, berjalan menuju gue yang ada di tengah-tengah rumahnya. Dan seperti biasa, gue melakukan basa-basi penolakan, "Aduh ngga usah repot-repot, deh", yang arti sebenarnya sangat berkebalikan.
"Ayo dimakan jajannya", tawarnya, dalam bahasa jawa tentunya, "ini aku bawain Fanta juga".
Semuanya berjalan layaknya kegiatan bertamu seperti biasa. Mengobrol ngalor ngidul, terkadang juga ditanyain sama ayahnya temen gue. Dan masih saja gue diajakin live IG.
Di tengah asyiknya pembicaraan tiba-tiba gue ditanyain temen gue, "Eh kamu engga keburu-buru, kan?"
"Engga, kok", jawab gue santai, "ya meskipun aslinya disuruh jangan lama-lama, tapi gapapa, kok".
"Mamaku bentar lagi mau pulang", ujarnya.
Deg. Bukan suara jatuh. Ribuan pertanyaan mulai muncul di pikiran gue. Udah sejak SMP gue kenal mamanya. Gue jadi penasaran gimana reaksinya nanti waktu liat gue dan apa yang bakal terjadi selanjutnya.
Seiring dengan obrolan yang masih berlanjut, lamat-lamat terdengar suara motor yang semakin lama semakin mendekat. Ternyata benar, yang datang adalah mamanya. Waktu itu gue cuma ditanyain apa bener gue yang nganterin.
Setelahnya, ternyata engga begitu horor, ngga ada 'wawancara', sekadar tanya-tanya biasa tentang kabar. Kejaiman gue perlahan mulai luntur ditandai dengan frekuensi ketawa gue yang semakin intens dalam obrolan itu.
Usai mengakhiri tawa, temen gue mengangkat gelasnya yang berisi f4nta merah. Gue langsung nyantol, ikutan mengangkat gelas dan terjadilah suara gelas beradu. Ting!
"Mletre aseek, haha!", dengan memeragakan seolah-olah sedang high, tawa dan tingkah lakunya menular.
Waktu memang tak pernah berjalan mundur, semakin lama tenggat waktu yang diberikan oleh emak semakin dekat, yaitu jam lima sore. Kebetulan waktu itu tersisa sedikit fanta merah di gelas gue.
"Ini abis, gue pulang, yak", sambil gue menunjuk sisa fanta di gelas gue.
Dia mengangguk, "Oke, deh". Akan tetapi, sekilas gue melihat ada ketidak-relaan di wajahnya. Waktu itu gue kurang waspada, lengah. Tiba-tiba dia menuangkan lagi sisa fanta di botolnya ke gelas gue yang udah kosong.
Tangan kirinya sontak menutupi, menyembunyikan tawanya ketika gue menatapnya dengan tatapan 'marah'. Gue mengumpat pelan, "Asemm!".
Seusai 'insiden' tadi, gue pun memutuskan untuk pulang. Buat jaga-jaga biar ngga kesasar, dia diminta ortunya buat nganter gue sampe dekat pusat kota.
Perjalanan pulang yang awalnya tenang, perlahan mulai mencekam ketika matahari semakin lenyap dari ufuk barat. Hutan belantara yang sunyi nan gelap menguji keteguhan hati gue.
Sempat beberapa kali gue mendengar seseorang menyalip gue, tapi ketika gue tengok kiri kanan belakang ternyata kosong! Di tengah perjalanan hampir saja gue bener-bener lepas dari motor karena gue ngebut di jalanan berlubang nan hancur.
Syukurlah gue berhasil selamat sampai rumah, memberi kabar temen gue. Kemudian ketika gue ceritain perjalanan pulang gue yang mencekam ke temen gue, dia agaknya khawatir.
"Kamu uda sampai, kan? Ngga apa-apa kan? Kamu ngga dimarahin ibumu?", rentetan pertanyaan sederhana yang bikin gue agak 'melayang'.
"Aku gapapa", tanpa gue sadari terukirlah senyum di bibir. Dan mungkin saja pupil ikut melebar selebar-lebarnya waktu itu.
Gue jadi keinget akan akhir dari mimpi gue waktu itu. Bedanya adalah ketika di mimpi yang khawatir adalah gue, dan di dunia nyata? You own your own answer.
Disclaimer : gue bener-bener ngga ngerencanain satu pun dari kejadian yang gue alami dan gue ceritakan ini. Andai aja adek gue ngga ngajak pulkam naik kereta, bisa jadi cerita ini hanya fiktif belaka.
anjir gw juga langsung keinget sama ending postingan lo yg waktu itu wkwkwk. Gasabar sekali baca season 2 nya ehe
BalasHapusbedanya lagi, irl gaada emoticonnya wkwkw
Hapuswkwkw anjay ga nyangka gw bakal ada season 2 nya